SENTANI, lpplrku.jayapurakab.go.id – Kebangkitan adat di wilayah adat Tabi khususnya Kabupaten Jayapura terus menggema ke berbagai penjuru. Tanggal 24 Oktober, merupakan peringatan hari Kebangkitan Masyarakat Adat (KMA) ke-9 di Kabupaten Jayapura dibawa kepemimpinan Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, SE,.M.Si. Kebangkitan Masyarakat Adat Kabupaten Jayapura kali ini bakal diperingati sekaligus dengan pelaksanaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara KeEnam (KMAN VI) di wilayah adat Tabi, dimana seluruh masyarakat adat nusantara berkumpul sebagai saudara, mereka bermusyawarah, merumuskan masa depan masyarakat adat yang lebih baik lagi kedepan, mulai dari ujung timur untuk Indonesia yang kuat dan tangguh. Meriah, unik, kental dengan keasliaan adat akan tersaji, ribuan masyarakat adat nusantara hadir dan tinggal di rumah-rumah warga di kampung, melakukan kirab budaya, ritual membawa tanah dan batu untuk membangun monumen nusantara. Presiden Jokowi pun dipastikan akan membuka kegiatan kongres sekaligus menyerahkan kodefikasi 14 kampung adat, SK ribuan hektar hutan adat, pemetaan wilayah adat serta , yo riya (sarasehan) masyarakat adat nusantara di 12 kampung. Seksi acara panitia KMAN VI berkesempatan memaparkan susunan kegiatan pada pertemuan bersama Forum Komunikasi Lintas Kerukunan Nusantara Provinsi Papua di Suny Garden Hotel, Senin (17/10), sekaligus meminta dukungan untuk ambil bagian bersama sebagai tuan rumah.
Di mata Prof. Dr. R. Partino, M.Si selaku Penasehat Himpunan Keluarga Jawa Madura (HKJM) Provinsi Papua memandang acara adat ini begitu besar, isinya juga asli dan unik dengan persiapan yang luar biasa pula, pantas dicatat dalam museum rekor MURI, sehingga panita diharapkan segera mendaftarkan acara ini ke MURI.
“Ini adalah ikon yang sangat besar, sangat monumental dan juga sangat luar biasa. Jadi, harus di rekorkan (daftarkan) dalam Museum Rekor Indonesia (MURI). Karena ini merupakan kebangkitan masyarakat adat dan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) yang ada di tanah Tabi ini tidak akan terulang lima atau sepuluh tahun mendatang,” ujar Partino.
Menurutnya, pelaksanaan kongres masyarakat adat nusantara ini harus digaungkan ke seluruh Nusantara. “Inilah contoh-contoh persatuan adat Nusantara di Indonesia yang ada berkumpul di tanah Tabi. Hal ini harus semua mendukung dan juga menjadi mercusuar di tanah Papua hingga nanti ke dunia,” tutur Guru Besae di Universitas Cenderawasih (Uncen) ini.
Partino yang juga Rektor Universitas Muhammadiyah Papua itu menambahkan, kegiatan ini sangat luar biasa dan momen ini jangan sampai dilewatkan.
“Jika dilewatkan begitu saja, kita rugi padahal ini bisa menjadi contoh, ini loh di tanah Tabi masyarakat adat Nusantara bersatu, saling bahu-membahu, masyarakat adatnya yang begitu ramah dari tanah Tabi ini menerima masyarakat adat seluruh Nusantara. Begitu baik, jangan sampai seperti di luar-luar sana yang pada ribut sendiri-sendiri. Sementara kita di tanah Tabi ini merupakan tanah damai, yang tetap harus memberikan contoh untuk seluruh Nusantara. Bahkan di dunia, kita memberikan contoh yang nyata,” tukasnya.
Apalagi, dalam pelaksanaan kongres ini panitia sedang mempersiapkan tas noken raksasa, monumen nusantara yang bisa jadi obyek pariwisata, ada dapur nusantara dimana semua menu khas nusantara akan diolah dengan gaya masakan masing-masing dan dicicipi bersama sehingga pantas didaftarkan ke MURI.
“Inikan nginapnya juga semua selama tiga hari di rumah-rumah penduduk, jadi akan bersatu dengan penduduk setempat dan masyarakat adat Tabi. Seluruh masyarakat adat Nusantara yang akan datang ribuan di sini. Inikan spektakuler dan monumental, maka itu panitia yang bertugas itu harus segera menghubungi yang menangani masalah MURI,” tukas dosen tetap Universitas Cenderawasih ini.
Menyikapi usulan tersebut, Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, S.E., M.Si. menyambut baik karena hajatan masyarakat adat ini benar-benar asli dan kesan ini pulalah sekaligus menunjukan kedamaian dan keakraban sesama anak bangsa serta suasana ini juga menepis keraguan orang tentang papua selama ini yang sering muncul dipermukaan seolah-olah konflik dan tidak aman.
“MURI bukan hanya volumenya, besar atau luas tetapi nilainya. Disini nilai-nilai adat dan budaya yang asli itu nampak,” katanya.